Kamis, 20 Desember 2007
Jumat, 14 Desember 2007
-Martabat-
Martabat
Suka Hardjana
Waktu masih duduk di bangku sekolah rakyat saya sering kesulitan membedakan kata martabat dan martabak. Buat anak kecil yang baru mulai belajar tahu memang agak sulit membedakan kedua kata itu.
Pertama, tentu karena kedua kata itu bukan kata bahasa Indonesia asli, melainkan contekan kata dari bahasa Arab. Kedua, karena di samping tak saling berkaitan, kedua kata benda tersebut sama sekali berbeda makna dan pengertian.
Buat anak kecil tentu lebih mudah memahami kata martabak. Martabak itu nyata, menarik perhatian, dan enak rasanya. Tetapi, martabat? Abstrak! Senyatanya tidak nyata. Ia hanya ada di benak angan-angan hasil bentukan abstraksi simbolis yang menjadi bagian konsep citra sosial dalam tata pergaulan antarmanusia. Kenyataan maya, kata orang zaman sekarang. Wajar bila anak-anak belum dapat memahami konsep semu di balik makna kata martabat.
Sejatinya, martabat hanyalah kesemuan (abstraksi sosial) yang seolah-olah. Hasil rekayasa adab manusia. Ia terbentuk melalui bangunan status yang diciptakan (diperkenalkan) sebagai hasil adopsi pergaulan manusia beradab. Konon, makin tinggi per/adab/an, makin berjenjang pula bangunan status sosial yang diciptakan manusia melalui adanya kebutuhan eksistensi ke koneksitas citra martabat.
Martabat adalah citra. Ia bangunan konstruksi sosial yang dianggap. Martabat lantas menjadi bagian penting bagi keberadaan manusia—baik pribadi maupun kelompok. Demikian pentingnya asumsi martabat manusia sampai-sampai ia menjadi pertaruhan hidup-mati bagi orang per orang, kelompok, maupun suku-suku bangsa tertentu.
Anehnya, manusia pilihan penuh martabat, seperti Muhammad, Jesus, Budha Gautama, Gandhi, Ibu Theresia, dan para sufi, sepertinya justru tidak begitu memusingkan martabat duniawi bagi dirinya sendiri. Mungkin paradoks ini bisa dibaca, semakin ciut (minder) citra martabat seseorang atau kelompok masyarakat dan suku/bangsa, semakin rusuh pula mereka merisaukan bangunan citra martabatnya. Orang lalu sering mudah marah, mudah merasa tersinggung, terhina, direndahkan, diremehkan, dilecehkan, disepelekan, tak dihargai, tak dihormati—merasa direndahkan harga diri dan martabatnya. Bagaimanakah sebenarnya martabat sehingga orang sering harus mati-matian mempertahankannya?
Martabat adalah asumsi dasar tingkat kemandirian eksistensi dalam adab tata pergaulan antarmanusia. Kecuali Hanoman dalam cerita wayang epik Mahabharata, makhluk binatang tak mengenal citra martabat. Semakin tinggi asumsi adab tata pergaulan antarmanusia, semakin tinggi pula pencitraan bangunan martabat yang dia angankan.
Dalam jenjangan status sosial hubungan antarmanusia, martabat sering dihubung-hubungkan dengan kekuasaan, kepangkatan, kedudukan dan jabatan, darah keturunan dan lingkungan, gelar, kekayaan dan sebagainya, sesuatu yang parameternya sumir dan diragukan.
Semua orang tahu, tak jarang orang berpangkat, berkuasa, berkedudukan, bergelar atau kaya ompong nama baik dan martabatnya karena terpeleset tingkah laku buruk di tataran umum.
Martabat juga sering dikorelasikan dengan nama baik, wibawa, kehormatan dan harga diri seseorang, kelompok, atau golongan masyarakat tertentu. Walaupun sama-sama abstrak, tetapi nama baik, wibawa, kehormatan, dan harga diri dipercaya sebagai elemen mendasar yang melatarbelakangi citra martabat seseorang.
Secara klasik, elemen-elemen mendasar yang menandai bobot martabat seseorang diyakini bersumber dari perilaku budi baik dan prestasi yang menimbulkan prestise sebagai modal personal. Dalam acuan lebih dekat saya kira tidak banyak orang yang tidak setuju bila dikatakan Bung Hatta, HAMKA, Ki Hadjar Dewantara, Agus Salim, dan Hamengku Buwono IX adalah contoh manusia Indonesia yang perilaku budi baik dan prestasi mereka (sebagai modal personal) melahirkan martabat yang membangkitkan rasa hormat hingga hari ini.
Dalam kondisi bangsa dan negara yang sedang kita lakoni saat ini, barangkali perilaku budi baik dan prestasi yang menimbulkan prestise sebagai modal personal untuk meraih bobot martabat (moral value) lebih baik perlu dikampanyekan kepada semua orang dan golongan.
Walau lebih sulit dari memberantas korupsi dan menegakkan hukum, cara yang diusulkan di atas akan jauh lebih efektif dan berguna daripada terus-menerus melampiaskan jargon politik pepesan kosong berbunyi nyaring budaya unggul, bangsa besar, kita telah ...., kita juga bisa.... dan seterusnya.
Rasa minder dan kesumat harga diri tak akan membangunkan rasa hormat yang melahirkan martabat. Martabat hanya bisa dibangun dengan perilaku budi baik dan prestasi yang menimbulkan rasa hormat. Bukan karena sekadar kestabilan politik ragawi, kemakmuran surgawi dan kekuatan pertahanan militer otot-kawat-tulang besi. Banyak bangsa dan negara yang tergerogoti martabatnya justru karena kekuatan stabilitas politik, ekonomi dan pertahanannya yang represif dan menjadikan dirinya sebagai sumber petaka eksploitasi bagi orang dan bangsa lain.
Ekspansi kolonialisme baru dalam selubung neoliberalisme yang agresif dan mengabaikan martabat dan rasa hormat pihak liyan harus dicermati bila orang tak hendak dianggap keledai kampung oleh bangsa lain yang merasa lebih maju.
Martabat memang bukan martabak. Biar semu, tetapi terus dikejar orang. Seperti orang mengejar bayang-bayang sendiri. Sebagai modal personal, martabat hanya bisa dikejar dengan perbuatan nyata perilaku budi baik dan prestasi yang menimbulkan rasa hormat. Martabat tak mungkin diraih hanya dengan sekadar membangun wacana. Karena wacana itulah yang sesungguhnya semu dalam pengertian martabat sebenarnya.
Kamis, 13 Desember 2007
Emil Salim tentang Kehidupan yang Dipertaruhkan
Prof Emil Salim (77) adalah satu dari sedikit tokoh Indonesia yang disegani masyarakat internasional. Ia berperan besar dalam merumuskan konsep dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan pada awal tahun 1980-an ketika menjadi anggota Komisi Brundtland. Sampai hari ini ia dikenal sebagai "orang bijak dari Timur" karena kemampuannya merangkul semua pihak demi Pembangunan Berkelanjutan.
Komitmennya pada Pembangunan Berkelanjutan tak pernah terkikis zaman, meski seluruh jabatan struktural telah lama ia tinggalkan. Itu membuat dia tidak berhenti. Dalam Konferensi Para Pihak (COP) Ke-13 untuk Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali tanggal 3 Desember-14 Desember 2007, ia adalah ketua delegasi Indonesia.
Emil Salim punya kemampuan mendengarkan dan menerima pendapat, yang berseberangan sekali pun. Ia sabar mendengarkan suara skeptis tentang konsep besar dan menjawab keraguan dengan menjelaskan duduk soal. Mendengarkan Emil Salim adalah mendengarkan optimisme di tengah situasi yang terbelah oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek.
"Kita harus tetap memiliki harapan demi kehidupan anak cucu kita," ujarnya, seraya mengingatkan agar tidak terbelenggu pada ancaman dampak pemanasan global.
Jawabannya mengenai carut- marut soal lingkungan di dalam negeri sebaiknya dibaca secara tersirat. Ia tampaknya tak mau terjebak memberi pernyataan yang dapat mendiskreditkan pihak mana pun. Yang terpenting baginya adalah tindakan segera dari semua pihak dan semua orang untuk menyelamatkan planet Bumi karena yang dipertaruhkan dalam pemanasan global adalah kehidupan itu sendiri.
Melawan perubahan iklim adalah tindakan lintas generasi. Tantangan sekarang adalah membuat jendela kesempatan tetap terbuka dengan menurunkan laju emisi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Dunia memiliki kesempatan sejarah untuk memulai kewajiban ini. Tetapi, waktunya tak lama lagi.
Pada tahun 2012 periode komitmen pertama dari Protokol Kyoto yang mengatur target penurunan emisi gas-gas rumah kaca di negara-negara maju akan berakhir. Perjanjian penggantinya yang mulai dibicarakan akan menentukan serangkaian cara baru, menentukan batas yang keras mengenai emisi masa depan, dan membuat kerangka kerja bagi tindakan kolektif internasional.
"Pertemuan Bali belum memutuskan perubahan Protokol Kyoto, tetapi harus menunjukkan arahnya agar tahun 2009 ada protokol baru," ujar Emil Salim. COP-14 akan berlangsung di Polandia, kemudian di Denmark tahun 2009.
Berikut ringkasan wawancaranya di Kantor Redaksi Kompas, Jakarta, suatu petang, dua pekan lalu.
Bagaimana secara sederhana menjelaskan pertemuan Bali?
Sekitar 10 tahun terakhir terjadi bencana di mana-mana di dunia. Angin keras, badai, dan curah hujan naik secara signifikan di belahan dunia sana, tetapi menurun drastis di bagian dunia yang lain. Secara global wilayah yang terkena dampak kekeringan meluas sejak tahun 1970-an. Penyakit yang disebabkan oleh vektor meluas.
Pendapat tahun 1980-an mengatakan situasi itu disebabkan alam yang berubah. Tetapi, para ilmuwan yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengatakan, bukan alam yang berubah, tetapi akibat perbuatan manusia. Pendapat ini diterima dalam pertemuan di Valencia, Spanyol, November lalu. Tentu ada peranan alam, tetapi eksponensialnya adalah perbuatan manusia.
Seluruh kegiatan manusia menghasilkan emisi gas-gas rumah kaca di atmosfer Bumi. Komponen terbesarnya adalah karbon dioksida (CO>sub<2>res<>res<). Penebalan CO>sub<2>res<>res< di atmosfer seperti selimut yang menaikkan temperatur muka Bumi secara global. Kalau terus naik, kemajuan yang dicapai akan hancur, dan yang lebih dulu kena dampaknya adalah kaum miskin, anak-anak, dan orangtua di negara berkembang. Kalau naiknya lebih dari dua derajat Celsius, kehidupan ini bubar. Ekosistem hidup amblas. Ada yang bilang, kalau es di kutub mencair, permukaan air laut bisa naik sampai empat meter.
Laporan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) mengatakan, 100 tahun terakhir ini temperatur global meningkat 0,7 derajat Celsius dan akan meningkat lebih dari tiga derajat Celsius pada tahun 2100 kalau praktik produksi dan konsumsi tidak berubah. Celakanya, akumulasi lebih dari 100 tahun gas itu terus menggantung di atmosfer. Berarti, sekali naik, temperatur tak akan turun. Emisi diukur sejak Revolusi Industri, lalu tumbuh secara eksponensial pada akhir abad ke-20.
Kegiatan yang menimbulkan pemanasan global adalah pembakaran minyak bumi, batu bara, gas alam, dan pembukaan lahan. Tuhan Maha Adil dengan menciptakan hutan. Hijau daunnya melalui fotosintesis menyerap CO>sub<2>res<>res< dari udara dan mengolahnya menjadi makanan. Jadi, selalu ada keseimbangan. Tetapi kemudian pohon-pohon ditebang. Jadi, apa esensi persoalannya? Gaya hidup.
Pertama, efisiensi energi harus dilakukan dalam kegiatan sehari-hari. Ibu saya dulu selalu menggunakan tas pandan untuk belanja. Kenapa toko swalayan besar-besar itu masih menggunakan tas plastik padahal plastik itu hasil dari bahan bakar fosil dan hanya sekali-dua kali pakai lalu dibuang. Itu mitigasi. Kedua, adaptasi. Kenapa membuat jalan tol Cipularang, padahal sudah ada kereta api Parahyangan? Jejak ekologi yang dihasilkan pembangunan selama ini tak bisa dipertahankan. Pola pembangunan yang konsentrasinya ekonomi harus diubah. Ekonomi bagian dari ekosistem, tetapi biaya hilang atau rusaknya sumber daya tidak dihitung, dampak sosial tidak dihitung. Padahal keduanya akan berdampak balik pada ekonomi. Tata pemerintahan Bagaimana memelihara lingkungan kalau yang dimenangkan investasi? Isu utamanya adalah tata pemerintahan tidak berjalan sesuai aturan permainan. Jadi, yang keliru bukan konsep Pembangunan Berkelanjutan, tetapi konsep itu harus dilengkapi dengan tata pemerintahan yang baik. Orientasi tata ruang bukan membikin jalan, tetapi menyelamatkan lingkungan. Hak ulayat harus diakui.
Pembangunan seperti apa dalam konsep Pembangunan Berkelanjutan?
Pertama, pembangunan rendah karbon, tetapi ini tidak terjadi. Pembangunan Berkelanjutan tidak jalan. CO>sub<2>res<>res< yang dilepaskan industri ke udara tidak dianggap sebagai biaya produksi. Biaya eksternal, seperti infeksi pernapasan karena menghirup gas pencemar, tidak dihitung. Polusi jalan terus karena ekonomi tidak menampung masalah lingkungan. Sungai gratis karena itu orang buang kotoran ke sungai. Udara gratis, makanya orang buang kotoran ke udara. Kedua, lingkungan adalah persoalan jangka panjang. Pohon yang ditanam sekarang, 20 tahun lagi baru jadi pohon besar. Tetapi, dalam 20 tahun ada empat kali pemilu. Yang terpilih tahun 2009 mikirnya tahun 2014. Jadi, jangka pendek, tak memasukkan lingkungan sebagai persoalan serius. Presiden Bill Clinton dari Partai Demokrat menandatangani Protokol Kyoto, tetapi Bush dari Partai Republik menolak meratifikasi. Ketiga, sumber daya. Ada tambang di dalam tanah, sementara tanah juga untuk pertanian, ada hutan dan macam-macam. Terjadi konflik dalam pemanfaatan sumber daya. Kalau penyelesaian ekonomi tak jalan, harus ada penyelesaian melalui politik dan benderanya adalah kesejahteraan masyarakat.
Hutan adalah habitat masyarakat adat dan sumber utama keragaman hayati. Hutan adalah tempat mikroorganisme hidup. Hutan mengikat air. Hutan mencegah erosi. Tetapi, semua itu berada di luar hitungan ekonomi. Bila dikaitkan dengan perundingan di Bali nanti? Ada yang dinamakan Reduced Emission from Deforestation dan Forest Degradation, menjaga dan mengurangi penebangan pohon dalam upaya mengurangi emisi gas-gas rumah kaca. Tetapi, bagaimana kalau pohon tak boleh ditebang padahal rakyat perlu pohon untuk makan? Untuk itu harus ada kompensasinya. Dalam bahasa teknis disebut opportunity cost. Pelayanan punya imbalan ekonomi. Kau beri nilai pada lingkungan. Bagi industri, menurunkan emisi akan menghasilkan uang. Itu akan mendatangkan banyak uang non-utang, tetapi kemungkinan nasib rakyat tidak berubah, malah mereka semakin ditekan... Esensi dari semuanya adalah kesejahteraan rakyat. Harus ada mekanisme kelembagaan yang ketat, yang membuat manfaat itu langsung dinikmati rakyat. Bagaimana dengan pembukaan jutaan hektar hutan untuk perkebunan sawit? Sebenarnya hutan dibagi-bagi, ada hutan lindung, ada hutan konservasi, taman nasional, hutan tanaman industri (HTI), ada hutan produksi. Sawit seharusnya ditanam di HTI. Di sini pentingnya tata guna lahan hutan. Kalau ada kekuatan politik yang memaksakan hutan yang lindung menjadi HTI? Indonesia tak bisa memilih karena kita adalah bagian dari dunia. (Dalam berbagai ceramahnya ia mengingatkan lahan untuk pangan harus mendapat prioritas).